BREAKING NEWS

Ketua KM3DA IMM Jawa Timur, Zubaidi: Makna Illahiyah dan Insaniyah pada Idul Adha


DPDIMMJATIM - Pada momentum Idul Adha kita sering mendengar kata "kurban", secara spontan pikiran kita biasanya langsung tertuju pada sebuah ibadah penting dalam ajaran Islam. Kata "kurban" berasal dari bahasa Arab "qurban", yang berakar dari kata “qaruba-yaqrubu-qurbanan”, yang berarti mendekat atau menjadi dekat. Dalam bahasa Arab, "qurban" juga dikenal dengan istilah "udliyyah", bentuk jamak dari "dlahiyah", yang berarti hewan sembelihan. Istilah ini juuga kerap disebut dengan "nahr".

Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, kurban merujuk pada istilah udhhiyyah, sebagaimana dijelaskan oleh Wahbah Zuhaili. Kurban dimaknai sebagai penyembelihan hewan tertentu dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang dilakukan pada waktu yang telah ditentukan, yaitu pada hari-hari Nahar.

Berdasarkan penjelasan dari Prof Quraish Shihab, berkurban Itu menggambarkan suatu aktivitas yang menunjukkan kesetiaan atau meng andung makna kebaktian. Selain itu berkurban juga bermakna suatu aktivitas atau sarana atau sesuatu yang dipersembahkan kepada Tuhan dengan tujuan mendekatkan diri kepadanya. Mengapa demikian? Sebab, pada mulanya manusia itu sangat dekat kepada Allah, tetapi dengan berdosa dia menjauh dari Allah akhrinya Allah pun juga “menjauh” darinya, jika dia tobat maka dia dekat lagi dengan Allah. Maka, kurban merupakan salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Dalam sejarahnya peristiwa kurban pertama kali dilakukan oleh dua orang anak Adam. Sebagaimana firman Allah Swt dalam Surah Al-Ma’idah (5:27):

 "Ceritakanlah kepada mereka kisah dua anak Adam (Qabil dan Habil) yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah satu dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia (Qabil) berkata, 'Aku pasti akan membunuhmu!' (Habil) menjawab, 'Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa.”

Lalu pada keberlanjutan peradaban, manusia mulai sadar bahwa semakin besar nilai yang dikorbankan maka semakin tinggi nilai korban itu dan Tuhan akan semakin senang karenanya. Oleh sebabnya kalau orang mampu kurban Kerbau dan Kambing, maka ia akan pilih kurban kerbau karena nilainya lebih besar. Walaupun nanti digaris bawahi oleh Allah Swt bahwa “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamu-lah yang dapat mencapainya..." (Qs. Al-Hajj:37). Karena kesadaran manusia bahwa semakin tinggi nilai korban Tuhan semakin senang. Maka dalam sejarahnya manusia mencari apa yang paling tinggi dan paling mahal. Sampailah pemikiran mereka untuk mempersembahkan manusia karena dianggap memiliki nilai paling tinggi.

Sejarah mencatat bahwa orang-orang Meksiko dahulu yang menyembah dewa matahari memberikan sesembahan kepada dewanya berupa jantung dan darah manusia. Pada bangsa lain, orang-orang Viking yang tinggal di Skandinavia , mereka yang menyembah dewa perang-Odin memilih pemuka agama yang paling hebat untuk dipersembahkan kepada dewa mereka. Lalu orang Mesir dulu menggunakan gadis yang paling cantik sebagai persembahan yang hanyutakan ke sungai Nil. Kemudian orang kan’an di Irak menggunakan bayi untuk dipersembahkan kepada dewa mereka yaitu dewa Ba’al. 

Dari timeline sejarah yang panjang, sampai pada masa Nabi Ibrahim orang mulai sadar bahwa sebenarnya manusia terlalu mahal untuk dipersembahkan kepada Tuhan sehingga mereka berfikir untuk mengganti persembahan selain manusia dengan alasan manusia terlalu mahal dan terlalu bernilai untuk dikorbankan. Dan pada akhirnya Tuhan membatalkan pengorbanan dari manusia. Lalu bagimana cara Tuhan membatalkannya? 

Menurut pendapat Prof Quraish Shihah, cara Allah membatalkan yaitu dengan Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya (Nabi Ismail As). berdasarkan cerita yang mahsyur dari Al-Qur’an, Nabi Ibrahim sanggup memenuhi perintah Allah Swt dan Nabi Ismail ikhlas dengan perintah tersebut. Namun, hal “ajaib” terjadi, Nabi Ismail Allah ganti dengan domba dan tidak jadi disembelih. Timbul tanda tanya yang besar pada benak kita. Kenapa tidak sejak semula saja Allah berkata ganti saja dengan domba?

Dari kisah tersebut, Tuhan seakan-akan mau mengatakan “Hai pemikir-pemikir, manusia-manusia yang menyatakan dirinya pandai dan berkata: “manusia tidak wajar berkorban atau dikorbankan demi Tuhan. Dan Allah menjawabnya melalui peristiwa Nabi Ibrahim dan Ismail. Seraya berkata: “Tidak ! manusia yang paling kamu cintai pun kalau Aku (Allah) sudah perintahkan untuk dikorbankan, maka korbankanlah.” Tetapi Allah berkata: “Tapi saya cinta manusia karena itu jangan korbankan manusia saya ganti dia dengan domba. Kisah tersebut menunjukkan bahwa Allah ingin mendidik hambanya untuk jangan berkata manusia terlalu mahal. Tetapi Allah melarangnya bukan karena terlalu mahal tapi karena memang Allah sangat mencintai manusia.

Sejak itu korban yang diperintahkan adalah domba atau binatang ternak. Dari sejarah tersebut bisa diambil pelajaran bahwa secara syariat hewan kurban itu harus sempura fisiknya, tidak cacat dan tidak sakit. Lalu yang dikorbankan adalah binatang. Dengan maksud secara maknawi, manusia diperintah untuk menyembelih sifat-sifat kebinatangan yang ada pada dirinya seperti, rakus, tamak, ingin menang sendiri dan sifat buruk lainnya. Karena itu ada hubungan yang erat antara berkorban dengan akhlaq atau moral. Berdasarkan pernyataan tersebut maka, semakin tinggi akhlak atau moral seseorang maka semakin dia bersedia untuk berkorban begitupula sebaliknya. 

Sebagaimana yang sudah mahsyur di dalam bidang ilmu sosiologi bahwa manusia adalah makhluk sosial-tidak bisa hidup sendirian. Demi memperoleh kebutuhan kita dari orang lain kita harus mengorbankan sebagian dari kepentingan kita. Sebagai ilustrasi, ketika di jalan raya kita mau pulang cepat-cepat disaat yang sama ada juga yang terburu-buru pulang. Sampailah pada trafic light, kalau kita berakhlaq kita harus sabar-mengorbankan waktu kita untuk orang lain yang berbeda arah agar mereka jalan duluan. Jika kita nekat menerobos, maka tabrakan pun tidak bisa terhindari. Akhirnya kita rugi, mereka juga rugi. Tetapi ada hal penting yang perlu kita ketahui, pada saat kita mengorbankan kepentingan untuk orang lain sebenarnya kita memperoleh lebih banyak (tabrakan pun bisa dihindari dan pulang dengan selamat).

Jadi ajaran Idul Adha atau Idul Qurban ini mencerminkan dua ajaran sekaligus. Ajaran pertama bernilai Illahiyah yaitu menyembelih binatang sebagai lambang syariat agama (bentuk mentaati perintah Allah Swt). Kemudian ajaran kedua bernilai Insaniyah yaitu membagikan daging korban yang merupakan lambang kepedulian kita kepada sesama walaupun dalam aturannya kita makan dari hasil kurban kita. Sebagaimana firman Allah: “...Maka apabila telah roboh (mati), makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami tundukkan unta-unta itu kepada kamu agar kamu bersyukur.” (Qs. Al Hajj ayat 36). Dan aspek lain dari nilai insaniyah adalah momentum Idul Adha memberikan pelajaran bahwa manusia harus berkorban dalam kehidupan karena tanpa pengorbanan, tidak ada akhlak atau moral baik yang tercipta. Mudah-mudahan Allah Swt memberikan kita hidayah, inayah dan taufiq agar kita mampu berkurban dhahir maupun bathin.***


Penulis: Zubaidi (Ketua KM3DA IMM Jawa Timur) 

Editor: Mumtadz Zaid Bin Tsabit 



Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Posting Komentar