Kaderisasi IMM di Era 5.0: Antara Spirit Identitas dan Tantangan Zaman
DPDIMMJATIM - IMM hari ini butuh lebih dari sekadar rutinitas organisasiia membutuhkan napas baru dalam kaderisasi.
Ketika kita berbicara tentang organisasi kader, maka yang dibicarakan bukan hanya soal struktur, rapat, atau program kerja. Lebih dalam dari itu, kita bicara tentang regenerasi nilai, pembentukan karakter, dan kesinambungan perjuangan. Dalam konteks Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), kaderisasi bukan sekadar proses administratif, tetapi menjadi jantung kehidupan organisasi. Namun, pertanyaannya: apakah jantung itu masih berdetak kencang, atau justru mulai kehilangan denyutnya di tengah derasnya arus zaman?
Setiap organisasi memiliki karakteristik dan kultur yang berbeda. Jika kita mengkontekstualisasikan pada organisasi perkaderan, jelas bahwa di dalamnya terdapat sistem kaderisasi yang saling mengaitkan antarkader. Kaderisasi merupakan jantung dari jalannya sebuah organisasi, terutama dalam Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). IMM memiliki sistem resmi yang menjadi acuan utama dalam proses kaderisasi, yakni Sistem Perkaderan Ikatan (SPI) yang bersifat general. Oleh karena itu, setiap cabang dapat menyusun versi SPI-nya sendiri yang disesuaikan dengan kondisi kader dan lingkungan setempat.
IMM bergerak berdasarkan tiga ranah gerakan utama (Trilogi), yakni keagamaan, kemahasiswaan, dan kemasyarakatan. Ketiganya merupakan wujud nyata dari nilai-nilai yang tertanam dalam diri kader, yang dikenal dengan Tri Kompetensi Dasar (Trikoda): religiusitas, intelektualitas, dan humanitas.
Dalam proses kaderisasi, terdapat tiga komponen utama yang saling berkaitan: sistem, instruktur, dan kader. Ketika salah satunya melemah, maka keseluruhan proses akan terdampak. Menurut KBBI, sistem adalah susunan yang teratur dari pandangan, teori, dan asas; instruktur adalah orang yang mengajar dan membimbing; sedangkan dalam konteks IMM, kader adalah anggota yang memastikan organisasi berjalan sesuai dengan khittah-nya.
Tujuan akhir dari proses kaderisasi ini adalah terwujudnya cita-cita IMM: “Mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah”. IMM adalah organisasi kader yang memiliki orientasi jangka panjang. Mengutip Prof. Haedar Nashir, “Untuk melakukan suatu perubahan sosial, maka dibutuhkan organisasi sebagai penggerak”. Maka, organisasi akan hidup jika orang-orang di dalamnya mampu menggerakkannya.
IMM memiliki tanggung jawab untuk menciptakan ruang bagi kader agar dapat berkembang menjadi kader umat, kader bangsa, dan kader persyarikatan. Namun, realitas hari ini menunjukkan bahwa masih ada hambatan dalam menjalankan roda organisasi. Salah satunya adalah belum optimalnya implementasi kegiatan perkaderan, yang membuat kader merasa kurang merasakan manfaat dari keterlibatan mereka. Misalnya, banyak program hanya berhenti pada wacana, minimnya komunikasi antar kader, konflik internal yang berkepanjangan, dan munculnya sikap egosentris di kalangan kader.
Kondisi ini tidak bisa dianggap sepele. Jika kita hanya diam, bagaimana nasib perkaderan di masa depan? Sebuah mobil tidak akan berjalan jika tak ada yang mengemudikan. Begitu pula IMM, perlu spirit kolektif dari seluruh elemen dalam ikatan baik kader maupun instruktur. Instruktur memegang peran penting dalam mengelola proses kaderisasi: memberikan pemahaman mendalam tentang IMM sebagai organisasi kader, serta mengarahkan kader pada hal-hal yang substantif.
Kaderisasi harus menjadi fokus utama karena kader yang berkualitas dari segi moral, intelektual, dan sosial lahir dari sistem kaderisasi yang kuat dan sesuai dengan identitas IMM. Seperti tertuang dalam prinsip dasar organisasi:
1. IMM adalah organisasi kader yang bergerak di bidang keagamaan, kemasyarakatan, dan kemahasiswaan untuk mencapai tujuan Muhammadiyah.
2. IMM memperkuat gerakan dakwah di tengah masyarakat, khususnya di kalangan mahasiswa.
3. Setiap anggota IMM harus mampu memadukan kemampuan ilmiah dan akidah.
4. Oleh karena itu, anggota IMM harus tertib dalam ibadah, tekun dalam studi, dan mengamalkan ilmunya sebagai bentuk ketakwaan dan pengabdian kepada Allah SWT.
Perkaderan bukan proses instan, melainkan proses berjenjang yang dirancang untuk mengenal, menyiapkan, dan mengembangkan kader secara terukur dan terencana. Instruktur memiliki tanggung jawab metodologis untuk menciptakan suasana kaderisasi yang nyaman, baik secara struktural maupun kultural. Secara dialogis, mereka juga berperan memberikan pemahaman ideologis, wawasan keislaman dan keorganisasian melalui forum-forum formal maupun informal.
Melihat realitas hari ini, pola kaderisasi IMM harus bersifat dinamis. Di era 5.0, kader Gen Z cenderung pragmatis, instan, dan sangat bergantung pada teknologi. Gaya hidup ini sering kali membuat mereka enggan keluar dari zona nyaman. Di sisi lain, proses kaderisasi IMM melibatkan beberapa tahapan seperti Darul Arqam Dasar (DAD), Darul Arqam Madya (DAM), Darul Arqam Paripurna (DAP), serta pelatihan-pelatihan khusus seperti PID, PIM, PIP, dan lainnya.
Tahapan-tahapan tersebut acapkali dianggap “berat” atau kurang menarik bagi kader muda. Oleh karena itu, IMM harus bisa menyesuaikan metode perkaderannya dengan karakteristik Gen Z, terutama dalam pemanfaatan teknologi informasi. IMM harus akrab dengan revolusi industri 4.0 dan society 5.0, serta mampu menjangkau isu-isu kontemporer seperti big data, AI, dan sosial media. Bukan berarti menghapus tahapan kaderisasi, melainkan membungkusnya dengan pendekatan yang kreatif dan kontekstual, tanpa menghilangkan ruh dan nilai luhur IMM.
Di tengah dinamika zaman, sebagaimana yang dikatakan Kuntowijoyo, “Beban cendekiawan muslim adalah mampu dan berani mengkritisi sejarah.” Dalam konteks ini, kader IMM harus menjadi seperti pohon oak yang kokoh menantang angin, mempertahankan nilai-nilai dasar di tengah gempuran globalisasi dan arus zaman.
Tahapan kaderisasi dalam IMM yang terus berjalan harus mampu menjadi fondasi yang kuat untuk membantu kader menemukan eksistensinya di tengah paradoks zaman industrialisasi. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, buruknya sistem kaderisasi akan melahirkan kader yang lemah. Maka, proses kaderisasi IMM harus senantiasa dijalankan sesuai dengan SPI sebagai rujukan utama dalam melahirkan kader yang tangguh, berintegritas, dan siap berkontribusi untuk umat, bangsa, dan persyarikatan.
Kini, saatnya IMM menegaskan kembali arah geraknya sebagai organisasi kader yang visioner, adaptif, dan tetap berakar pada nilai-nilai ideologisnya. Perkaderan tidak bisa berjalan dengan pola lama di tengah zaman yang terus berubah. IMM harus mampu menjawab tantangan era digital tanpa kehilangan identitas keislaman dan keilmuan yang menjadi rohnya. Karena sejatinya, kader IMM bukan hanya untuk hari ini—tetapi untuk esok yang lebih besar. Maka, jika kaderisasi hari ini stagnan, kita sedang mempertaruhkan masa depan gerakan itu sendiri. Saatnya bangkit, menata ulang, dan bergerak bersama.***
Nama Penulis: Elif Emilia Putri (Ketum PK IMM Utsman bin Affan UMPO)
Editor: Mumtadz Zaid Bin Tsabit